Empat
hari sebelum Tengku Hasan Muhammad di Tiro berpulang, saya belum mendapat akses
untuk bisa menjenguk Paduka Yang Mulia. Beberapa orang yang saya hubungi, tidak
berani memberikan info apa apa. Telpon dan SMS dibalas dengan jawaban yang
berputar-putar oleh beberapa orang yang sebenarnya bisa membantu. Saya pun
sudah seminggu kurang sehat. Nyeri di tulang punggung sedang kambuh.
Saya
hubungi bang Bakhtiar di Swedia, beliau menyemangati saya, bahwa saya harus
bisa menjenguk dan menyampaikan salam kepada Tengku..
Perasaan hati semakin tidak enak. Tengku adalah pengganti orang tua. Saya berdoa dalam hati, ya Allah, berikan jalan. Apa rasa seorang anak yang tidak bisa melihat orang tuanya yang terbaring sakit di ICU rumah sakit.
Tiba-tiba
dapat telepon dari bang Mirza, Bupati Pidie. Abang itu bertanya, apakah sudah
menjenguk Paduka Wali, kalau belum, yuk sama-sama.
Langsung
saya hidupkan kendaraan, segera menuju ke rumah sakit Zainoel Abidin. Parkir
penuh, setelah putar-putar, saya minta izin untuk bisa parkir sebentar di bawah
palang masuk lewat IGD. Hati berdebar-debar ingin segera sampai.
Setelah
keluar dari lift, bang Mirza menunggu. Di depan ruangan banyak orang yang
duduk, sebagian adalah pengawal. Ada beberapa yang kenal, selebihnya tidak.
Bang Mirza mengajak masuk, kami sama-sama hendak masuk. Bang Mirza diloloskan,
saya ditahan. Sewaktu saya mau marah, dijawab, maaf, masuk satu-satu. Emosi
saya langsung turun, saya duduk di kursi, sambil berdoa, ya Allah, izinkan saya
menjenguk orang tua saya.
Setelah
duduk 10 menit, saya ke pintu, saya minta izin masuk. Ditahan oleh seseorang
yang mengawal, dalam hati, saya akan melawan. Ketika hendak mendorong penjaga
pintu, tiba-tiba seorang yang saya kenal yang setia mengawal wali di dalam
ruangan ICU keluar, dia kaget melihat dada saya yang ditahan di pintu. Langsung
dia bentak, buka, biarkan bang Munawar masuk.
Saya
masuk melewati lorong. Berjumpa dengan seorang yang kurus berjanggut, dengan
sinis mengerling dan berkata, Wali tidak boleh dilihat. Banyak virus di sini.
Harus pakai masker. Saya tidak pedulikan, dan dari ruangan keluar Nyak Asma,
ibunda tengku Musanna. Setelah saya salam, beliau langsung membawa saya ke
dalam, tempat Tengku berbaring.
Saya
masuk, langsung meraih tangan Tengku, saya cium tangan beliau sekali. Mata
beliau terbuka, memandang dengan pandangan yang sangat teduh, pandangan yang
saya tidak bisa lupakan selamanya.
Kemudian
saya cium kening beliau beberapa kali sambil membaca kalimah thayyibah dan
syahadatain. Tengku tidak bergerak, mata beliau berair.. Tanda beliau tau
kehadiran kami.
Tengku
lantas tertidur.
Kemudian saya keluar ruangan, bertemu dr. Fakhrul Jamal dan bang Musanna. Kami cerita-cerita tentang pengobatan Tengku dan keadaan beliau.
***
Sehari setelah itu, saya datang lagi. Tengku kritis. Banyak yang bergerombol di depan ruangan ICU, saya langsung masuk dan tidak peduli, saya siap melawan siapa yang menghadang, ada yang berusaha mencegat, kebetulan Tengku Fauzi melihat, langsung berteriak agar saya dibiarkan masuk.
Sehari setelah itu, saya datang lagi. Tengku kritis. Banyak yang bergerombol di depan ruangan ICU, saya langsung masuk dan tidak peduli, saya siap melawan siapa yang menghadang, ada yang berusaha mencegat, kebetulan Tengku Fauzi melihat, langsung berteriak agar saya dibiarkan masuk.
Saya
langsung diajak Tengku Fauzi dan Nyak Asma ke dalam. Tengku tertidur, badan
Tengku sudah agak membengkak, namun muka putih berseri, dan terlihat sangat
susah menarik nafas.
Kami
membaca yasin beberapa kali. Kami juga membacakan kalimah thayyibah di telinga
beliau. Saat itu saya menitikkan airmata. Saya merasa inilah pertemuan terakhir
dengan orang tua yang sangat saya cintai. Saya mengusap tangan dan kaki Tengku
terasa dingin.
Sore
itu saya kembali ke Sabang dengan sangat berat hati, sebab besoknya akan
membuka kejurnas windsurfing dengan wagub di pantai Sabang Fair..
Hari itu, tanggal 03 Juni, kami membuat acara pembukaan kejurnas windsurfing di lapangan terbuka, tepat ketika wagub berpidato, datang SMS bahwa Tengku telah kembali ke pangkuan Ilahi.
Acara
langsung kami sudahi, kami langsung ke pelabuhan. Dari pelabuhan langsung ke
rumah tempat jenazah disemayamkan di rumah dinas ketua DPRA Hasbi Abdullah.
Saya
sampai berbarengan dengan pak John Penny, kepala rumah Eropa Aceh. Dia ikut
masuk dengan saya ke rumah.
Jenazah
sudah dimandikan, kami shalatkan dan jenazah akan dibawa ke mesjid raya. Ketika
jenazah akan bergerak, beberapa orang mantan kombatan yang kenal langsung
menarik saya ke depan keranda, tangan saya dipegangkan agar tidak terlepas dari
keranda, mereka berkata, bang, jangan lepas, tetap pegang yang kuat. Abang
harus di depan. Ini orang tua kita.
Kami
berjalan membawa keranda beriringan ke mesjid raya, dan tangan saya tidak lepas
dari keranda.
Setelah
sampai di mesjid, kami turunkan jenazah di depan jamaah. Abuya Prof. Muhibuddin
Wali berdoa setelah shalat dengan imam Tgk. Abdurrahman. Selesai shalat,
Irwandi Yusuf menegur, muka saya pucat sekali, saya disuruh menunggu duluan di
Mureu, memang saat itu nyeri punggung datang menyerang.
Saya
langsung keluar mesjid dari pintu depan, dan langsung berangkat ke Mureu.
Sesampai di Mureu, jalanan macet. Saya sampaikan kepada kawan yang membawa
kendaraan, agar berhenti di sebuah belokan kira-kira 2.5KM dari kuburan. Balik
arah kendaraan, parkir dan kita jalan kaki. Kalau kita tetap masuk dengan
kendaraan ke sana, nanti kita tidak bisa keluar.
Kami
pun berjalan kaki. Sepanjang jalan manusia berduyun-duyun menuju komplek
kuburan, dan mobil tidak putus-putus masuk ke arah kuburan.
Sesampai
di komplek kuburan, bertemu dengan bang Yahya Muaz, kedua kami berpelukan dan
menitikkan air mata. Saya langsung dibawa masuk ke dalam pagar kuburan. Dalam
pagar tersebut ada beberapa kuburan, salahsatunya kuburan Tengku Chik Di Tiro.
Dan lubang kuburan yang digali untuk Tengku tepat di depan tangga pintu masuk.
Setelah
itu, ribuan manusia berdatangan, di dalam pagar ada Muzakir Hamid, Zakaria
Saman, saya dan Tengku Malik Mahmud dan Zahizi. Ketika jenazah datang, Tengku
Malik, Zakaria Saman, bang Musanna masuk ke dalam kuburan untuk menyambut jasad
Tengku. Saat itu dengan hati bergetar saya berdoa tidak henti-henti, dan para
pengantar.Semua berdoa.
Rupanya
jenazah lebih panjang dari papan yang disediakan, Zahizi Ubaidillah langsung
menarik papan lain dari atas besi kubur Tengku Chik Di Tiro, dan disambungkan
dengan papan yang ada.
Saya
melihat semua dari dekat, airmata bercucuran mengantar Paduka Yang Mulia Wali
Negara Tengku Hasan Muhammad di Tiro menuju kehidupan abadi.
Saat
itu ada beberapa wartawan yang berdiri di luar pagar merekam. Salahsatunya,
meminta tolong dengan memberikan kamera untuk merekam penguburan Tengku. Saya
tolak dengan halus sambil minta maaf kepada Yayan, sebab tidak mungkin orang
tua yang dikubur, anaknya sibuk merekam penguburan.
Perlahan-lahan
tanah dicangkul untuk menguburkan salah seorang guru yang besar, pejuang yang
gigih, pengobar semangat yang mengenalkan kepada generasi muda marwah dan
martabat Aceh. Pejuang sejati yang semangat perjuangannya tidak akan pernah
mati di dada kami.
Semoga
Tengku ditempatkan di sisi Allah bersama para syuhada dan aulia. Amin.
Al-Faatihah!
Al-Faatihah!
Dikutip
dari catatan facebook.
0 Response to "Tatapan Terakhir Sang Wali Aceh Merdeka"
Posting Komentar