Partai Aceh Dulu Bukanlah Partai Aceh yang Sekarang


GoAtjeh| Aceh merupakan salah satu daerah Provinsi kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur serta mengurus sendiri urusan pemerintahan setempat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.

Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Pasca nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau yang lebih dikenal dengan MoU Helsinki yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh demi mengakhiri sebuah konflik berdarah selama 3 dekade.

Kemudian Sesuai dengan butir-butir dari turunan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) pada BAB XI pasal 75 dan 76 tentang Partai Politik lokal  Rakyat aceh dapat membentuk partai politik lokal. Berdasarkan pasal tersebut, maka pada tahun 2007 terbentuklah partai aceh (PA) pada tanggal 19 februari 2007.

Partai ini adalah suatu ideologi dan roh dari perjuangan Aceh sebagai amanah dari UUPA dan menjadi harapan baru untuk warna perpolitikan di Aceh, partai yang menjadi repersentatif dari masyarakat Aceh, tentunya sangat banyak aspirasi yang harus di perjuangakan dan tidak sedikit pula hambatan dan tantangannya dalam memperjuangakan hak-hak rakyat Aceh.

Mulai menata sutruktural pengurus DPA (Dewan Pimpinan Aceh), DPW (dewan pimpinan wilayah) dan juga sampai dengan struktur pengurus DPC tingkat bawah hingga sampai dengan tingkat gampong. Hal ini lah yang membedakan partai ini dengan parnas. Banyak diantara kombatan-kombatan dari GAM yang di jaring untuk mengisi posisi dalam struktural partai Aceh hingga di tingkat yang paling atas sampai ke tingkat paling bawah, banyak hal yang harus di lalui oleh partai Aceh sehingga banyak fase-fase yang telah di lewati hinga bertahan sampai pada saat ini.

Partai ini sudah 9 tahun mengisi demokrasi Aceh dan mampu bertahan hingga sampai saat ini. Eksistensi partai PA sudah tidak di ragukan lagi oleh partai lain bahkan parnas sekalipun juga segan dengan partai yang di gagas oleh politisi Aceh ini, mengingat di tiap-tiap momen baik pemilukada dan pileg partai ini banyak menominasi di tingkat daerah kabupaten dan pada tingkat provinsi sekalipun.

Hal ini lah yang membuat para politisi di tiap-tiap daerah ingin di pinang oleh partai PA bahkan meminang sekalipun. Partai ini mulai ikut pileg pertama pada tahun 2009 dengan perolehan kursi di DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Pada 2009 perolehan suara PA mencapai 1.007.173 suara (47%), sehingga mampu mendominasi DPRA dengan 33 kursi dari 69 kursi yang tersedia dalam parlemen tingkat DPRA. (Serambi, 9/4/2009)

Menariknya, partai hasil perjuangan rakyat Aceh selama tiga puluh tahun, yang  telah rakyat amanahkan  kepada mantan pejuang atau kombatan untuk menduduki kursi panas di Legislatif , diselewangkan dan telah melanggar garis-garis perjuangan, sebagaiman mereka perjuangkan dahulunya.

Para elit Partai Aceh telah terlena dengan enaknya duduk di kursi empuk legislatif, memiliki mobil super mewah, tempat tidur yang terbuat dari mahoni interior dan nyaman rasanya tidur diatas jepara, belum lagi ditambah dengan dana tunjangan setiap

bulannya.
Hal inilah yang membuat para elit partai terjebak dengan kemewahan hidup dan nyamannya menjadi seorang pejabat publik di legislatif, bagaimana tidak dengan  fasilitas uang rakyat yang diberikan kepada pejabat untuk membutuhi segala kebutuhan hajat hidup mereka, tapi pejabat tersebut malah menjadi bumerang bagi masyarakat.

Mungkin itu disebabkan karena mereka sudah tidak lagi bermental melayani masyarakat, tetapi sudah ingin dilayani oleh masyarakat, padahal pada hakikatnya anggota legislatif merupakan tempat masyarakat untuk mengadu aspirasi mereka.

Partai Aceh kembali bertarung dalam pesta demokrasi lima tahun sekali pada 2012 yang menempatkan posisi teratas pada pemilukada 9 April lalu dengan rekapitulasi suara sebanyak 1.327.695 suara atau dengan persentase 55,75% (Serambi, 10/4/2012). Pada tahun 2014 partai Aceh juga ikut berpartisipasi dalam mewarnai kancah perpolitikan Aceh pada Pemilu Legislatif (pileg). Pesta demokrasi yang rutin dilaksanakan lima tahun sekali.

Dalam pileg dua tahun lalu, Partai Aceh hanya mampu  memperoleh 29 kursi dari 81 kursi DPRA. Disini terlihat afiliasi Partai Aceh di mata masyarakat sudah mulai memudar dengan dinamika politik yang dimainkan oleh para Elit PA. Kondisi pileg 2009-2014 mendeskripsikan bahwasanya kekuatan politik partai tersebut sudah menurun sehingga memberi dampak pada penguatan internal PA.

Penurunan suara signifikan partai Aceh disebabkan oleh konflik internal di tubuh Partai Aceh itu sendiri sehingga melahirkan partai nasional Aceh. Tak hanya itu partai ini juga sempat menebarkan janji manisnya yang membuat masyarakat aceh gerah dengan tebar pesona partai tersebut.

Beberapa waktu lalu, Rapat Musyawarah Partai Aceh (PA) Ban Sigom Aceh 2016 di Hotel Grand Aceh, Banda Aceh, Minggu (10/4), berlangsung ricuh dan dikabarkan diwarnai bentrok antar sesama kader. Kericuhan elit politik partai tersebut telah banyak menimbukan spekulasi beragam mengenai eksistensi partai untuk bertarung pada pilkada mendatang.

Dengan melihat dinamika yang terjadi dalam tubuh partai aceh saat ini, maka tidak menutup kemungkinan masyarakat akan berbalik arah untuk memilih partai nasional pada pilkada mendatang. Dalam kondisi ini, bisa saja parnas memanfaatkan momen untuk merebut hati masyarakat yang jenuh akan partai lokal.

Probelama seperti ini dapat kita analisis menggunakan Teori Keseimbangan (A Balance Theory of Group Formation) dicetus oleh Newcomb seorang psikolog sosial terkenal yang menjelaskan bahwa seseorang tertarik kepada orang lain, didasarkan atas kesamaan sikap dalam menanggapi suatu tujuan yang relevan satu dengan yang lain.

Unik nya teori ini memberikan penekanan pada aspek-aspek psikologis sebagai daya dalam penguatan internal partai aceh. Dengan demikian, partai ini sudah selayaknya bersikap kolektif dalam kelompok nya agar tercapainya cita-cita dan tujuan partai tersebut. Pendekatan ini mampu memberikan solusi bagi partai aceh yang kini tengah di terpa badai sehingga tidak seimbangnya tubuh partai ini.

Seharusnya, Partai Aceh harus mengintrospeksi diri (otokritik) ke internalnya,guna untuk dapat bertarung pada masa akan datang. Bentuk perbaikan itu baik berupa penguatan kaderisasi, manajemen kepartaian,dll.

Hal lainya juga perlu dilakukan upaya pendidikan politik masyarakat Aceh, kita juga memberi apresiasi atas dibentuknya pemuda partai Aceh, Yang bisa saja menjadi sarana mengubah perpolitikan kearah yang lebih baik.

Sedangkan arah lainnya juga  diperlukan sosok  figur yang mampu memberikan warna-warni dalam arena percaturan politik kedepan. Selain dari itu, perlu dilakukan pendewasaan dan kecerdasan berpolitik bagi para kader sehingga dapat meningkatkan kapasitas dan kapibilitas kader.

Penulis merupakan Anggota DPM Unsyiah dan Mahasiswa di Jurusan Sosiologi


Sumber: harianaceh.co.id


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Partai Aceh Dulu Bukanlah Partai Aceh yang Sekarang"

Posting Komentar