Rasul Larang Perempuan Memimpin, Mengapa di Aceh Ada Sultanah?







KEPEMIMPINAN perempuan di Aceh telah dimulai sejak zaman negara besar Kesultanan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam. Di masa kini, sejak beberapa tahun lalu ada camat perempuan, geuchik perempuan, dan kini (2016) ada dua calon wali kota perempuan di Banda Aceh. Ada dua pendapat tentang itu, yang satu membenarkan dan yang lain melarangnya.

Berita Perbedaan Pendapat

Pada berita bertajuk “Kata Illiza Soal Kepemimpinan Perempuan”, yang disiarkan portalsatu.com pada 17 September 2016, berdasarkan siaran pers pemkot Banda Aceh, disebutkan, Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal yang mencalonkan diri lagi mengaku sudah mempelajari tentang kepemimpinan perempuan.

“Dulu ternyata Sulthanah di Aceh bahkan bisa memimpin hingga Asia Tenggara. Saat itu saya juga berkata pada diri saya sendiri jika saya berhasil menjadi pemimpin perempuan di Banda Aceh, maka saya berhasil meningkatkan kepercayaan orang di Aceh pada kepemimpinan perempuan," kata Illiza dalam berita tersebut.

Sementara pada berita berjatuk “Soal Pemimpin Perempuan, Ini Kata Illiza”, yang disiarkan Serambinews.com (aceh.tribunnews.com), pada Minggu, 2 Oktober 2016 menyebutkan, bakal calon wali kota Banda Aceh dari jalur partai politik, Illiza Sa'aduddin Djamal angkat bicara terkait merebaknya isu perempuan dan pemimpin yang selama ini kerap dibicarakan di kalangan masyarakat, khususnya jelang pilkada di Banda Aceh.

Di dalam berita itu, Illiza mengatakan bahwa perihal kepemimpinan memang diatur dalam Islam. Ia menyebutkan hanya ada dua tempat di mana perempuan tidak boleh memimpin, pertama rumah tangga, kedua imam shalat.

Terkait rencana dirinya untuk maju kembali pada Pilkada 2017, Illiza mengaku telah berkonsultasi dengan pihak ulama.

"Ketika bertemu dengan Ketua MPU provinsi dan saya bertanya apakah saya pantas melanjutkan kepemimpinan ini? beliau mengatakan 'Illiza kami ada di depan, tolong lanjut' dan beliau mengatakan itu dengan tetesan air mata," sebut Illiza.

Suatu ketika, cerita Illiza di dalam berita itu, Ketua MPU Banda Aceh juga pernah ditanya masyarakat.

"Pak Ketua, apakah perempuan boleh memimpin," kata Illiza menirukan pertanyaan kepada Ketua MPU Banda Aceh.

Dalam berita tersebut, sambung Illiza, Ketua MPU Banda Aceh menjawab dengan pertanyaan balik yang kepada masyarakat, "Siapa lebih baik ulama masa lalu dengan ulama masa sekarang? Jawabannya ulama masa lalu. Kalau ulama masa lalu saja boleh, apalagi ulama yang sekarang kata beliau," ujar Illiza.

Menurutnya, dulu Sultanah Safaituddin juga dikelilingi ulama-ulama, ia juga seorang pemimpin hebat Aceh di masanya.

Di dalam berita lain, bertajuk “Hukum Wanita Mencalonkan Diri Sebagai Pemimpin” yang disiarkan nadpost.com, Sabtu, 08 Oktober 2016, disebutkan, dalam pengajian Tastafi Aceh di Mesjid Baiturrahman Banda Aceh bertema Menyambut Tahun Baru Islam Muharram 1438 H, salah seorang jamaah menanyakan kepada Ketua Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Abu Mudi, tentang hukum seorang perempuan yang mencalonkan dirinya sebagai pemimpin Jum'at malam 07 Oktober 2016.

Dalam berita itu, Abu Mudi menjelaskan tentang status hukum wanita yang mencalonkan diri sebagai pemimpin.

“Haram (berdosa) bagi seorang wanita mencalonkan dirinya sebagai pemimpin, dan haram juga memilihnya, dan melantiknya,” kata Abu Mudi, yang dibenarkan sekretaris majelis pengajian Tastafi Aceh Tgk. Muhammad Balia, dalam berita itu.

Pengajian ini merupakan kajian rutin yang diadakan setiap malam Sabtu awal bulan dan dihadiri oleh ribuan jamaah dari berbagai kalangan.

Laman itu menyeru, demi untuk menjaga hubungan baik kita dengan Allah Azza Wa Jalla dan menjaga marwah dan martabat Kota Banda Aceh maka Umat Islam mesti memilih pemimpin laki-laki atas alasan tersebut.

Pendapat yang Mendua

Mengapa sampai ada dua pendapat tentang satu perkara sementara orang-orang berasal dari negeri dan keyakinan yang sama serta memakai sumber yang sama.

Tiga berita di atas dapat disebut mewakili pendapat-pendapat dari beberapa pihak yang berbeda pandangan, termasuk orang yang terlibat dalam hal yang dibincangkan tersebut di masa kini.
Beberapa tahun lalu, tentang kepemimpinan perempuan di Aceh, saya cenderung sependapat dengan Ketua MPU Banda Aceh yang dikutip Illiza. Akan tetapi kemudian saya mulai meragukan kebenaran dari pendapat yang cenderung mengadu-adukan itu tanpa menelaahnya secara mendalam.
Bagaimana para ulama masa dahulu membenarkan kepemimpinan perempuan menjadi kepala negara, sementara ada hadits yang melarangnya. Mustahil ada pertentangan antara perintah Nabi dengan yang dilakukan ulama dalam kemaslahatan umat, disebabkan ulama adalah pewaris para nabi. Maka kucarikanlah data sejarah dan hadits itu kembali.

Kecelakaan Sejarah

Mari kita lihat sejarah yang telah diakui kebenarannya. Adalah di Negara Kesultanan Samudra Pasai, Puteri Nahrisyah binti Sultan Zainal Abidin diangkat sebagai sultanah di Kesultanan Samudra Pasai. Ia wafat pada tahun 831 Hijriah (1428 Masehi).

Adalah di Negara Kesultanan Aceh Darussalam, puteri Sultan Iskandar Muda, Puteri Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675) diangkat menjadi sultanah, setelahnya puteri Sultan Iskandar Muda, Puteri Naqiatuddin Nurul Alam (1675-1678) diangkat menjadi sultanah, kemudian puteri Sultan Iskandar Muda, Puteri Zaqiatuddin Inayat Syah 1678-1688 diangkat menjadi sultanah, setelah itu, puteri angkat dari Sultan Iskandar Muda, Puteri Zainatuddin Kamalat Syah 1688-1699 diangkat menjadi sultanah di negara yang wilayahnya mencakupi seluruh Pulau Sumatra tersebut.

Para sejarawan menyebutkan bahwa masa puncak kegemilangan Negara Kesultanan Samudra Pasai adalah pada saat Sultan Zainal Abidin memimpin. Setelah itu dipimpin oleh anak perempuannya, dan Negara Samudra Pasai pun melemah perlahan setelahnya.

Begitu juga, puncak kegemilangan Negara Kesultanan Aceh Darussalam pada masa Sultan Iskandar Muda, setelahnya, sejak para sultanah memimpin, Aceh Darussalam perlahan melemah, wilayah-wilayahnya ada yang memisahkan diri.

Mari kita menelaah hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan Bukhari, Turmuzi, dan An-Nasa’i, “Diriwayatkan dari Abu Bakrah, katanya: Tatkala sampai berita kepada Rasulullah bahwa orang-orang Persia mengangkat puteri Kaisar sebagai rajanya, Baginda bersabda: Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.”
Hadis yang saya salin dari lama nahimunkar.com tersebut mengingatkan kita bahwa setelah Ratu itu memerintah Persia Kemaharajaan timur itu sedikit kacau dan kemudian ditaklukkan oleh pasukan Islam di masa Khalifah Umar bin Khattab ra.

Artinya, Persia melemah dan runtuh setelah dipimpin oleh perempuan, begitu juga Samudra Pasai dan Aceh Darussalam. Serupa pula di masa kini, beberapa tahun lalu, negera Pakistan pun kacau dan ditaklukkan oleh Amerika Serikat setelah dipimpin oleh perempuan, Perdana Mentri Benazir Butto.
Maka, mengapa para ulama Aceh di masa Negara Kesultanan Samudra Pasai dan Negara Kesultanan Aceh Darussalam mengangkat perempuan sebagai pemimpin negara sementara mereka pasti mempelajari juga hadits yang melarangnya?

Adalah keadaan di masa itu berbeda dengan saat ini. Ketika zaman itu, kedua negara tersebut memakai sistem pemerintahan monarki (kepemimpinan turun temurun). Dan pada saat yang sama, Negara Samudra Pasai dan Negara Aceh Darussalam—walaupun di abad yang berbeda, tapi--tengah menghadapi musuh besar yang sama, Portugis.

Para ulama mengetahui bahwa apabila menolak mengangkat anak almarhum sultan terbesar sebagai pemimpin baru di negara tersebut kala itu, niscaya akan terjadi kekacauan besar di dalam negeri yang mengakibatkan banyak tentara dan rakyat terbunuh dan itu dapat menghancurkan negara dalam seketika, dan tentu saja Islam turut hilang bersamanya.

Keadaan itu harus dihindari mengingat negara tengah membutuhkan kekuatan dan persatuan besar di dalam untuk menghadapi musuh kuat dari luar. Maka mahu tidak mahu, puteri sultan pun diangkat sebagai pemimpin baru, sultanah.

Mereka mengetahui bahwa, betul sekiranya mengangkat perempuan sebagai pemimpin akan membuat negeri tidak beruntung, akan tetapi keadaan Negara Samudra Pasai dan Negara Aceh Darussalam saat itu, akan lebih tidak beruntung apabila saat itu para ulama mengangkat orang yang bukan anak sultan walaupun ia laki-laki.

Tidak beruntung yang dimaksudkan oleh Baginda Rasul dapat dipahami sebagai keruntuhan perlahan, sementara kehancuran pasti dan langsung segera terjadi apabila tidak menaikkan puteri sultan sebagai kepala negara.

Pernyataan Baginda Rasul di dalam hadits tersebut dapat dimaknai bersifat memiliki celah izin apabila dalam keadaan darurat yang sekiranya tidak dilakukan akan mengakibatkan kehancuran besar yang mempengaruhi hancurnya peradaban Islam secara langsung saat itu.

Akan lain sikap para ulama di masa itu sekiranya dalam hadits, Baginda Rasul SAW megnatakan—misalnya—“Wahai ummatku, jangan pernah sekali-kali kalian mengangkat perempuan sebagai pemimpin!” yang merupakan larangan mutlak. Tapi ini, Baginda Rasul SAW bersabda, “Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.”

Memang, setelah mengangkat perempuan sebagai kepala negara, Kesultanan Samudra Pasai dan Kesultanan Aceh Darussalam tidak lagi beruntung. Walaupun itu keadaan terpaksa, akan tetapi apa yang dinyatakan oleh Baginda Rasul—tidak beruntung--terjadi juga, namun Islam masih ada di kawasan tidak hilang total walaupun negara melemah dan lenyap juga.

Begitulah dilema saat itu, mengapa para ulama mengangkat perempuan sebagai kepala negara Samudra Pasai dan Aceh Darussalam. Sebuah kecelakaan sejarah. Niscaya berbedalah apa yang terjadi di zaman itu dibanding dengan keadaan masa ini. Kita tidak tengah berperang dengan negara kafir yang kuat dan kepemimpinan kita tidak lagi mengharuskan dipilih karena turunan.

Oleh karena itu, kita tidak bisa mencontohkan Sultanah Nahrisyah atau Sultanah Safiatuddin dengan perempuan zaman sekarang yang ingin menjadi gubernur, bupati atau wali kota, camat, mukim, atau geuchik, disebabkan masih ada laki-laki serta di zaman ini sistem negara membenarkan turunan mana saja menjadi pemimpin.

Yang dimaksud pemimpin di sini ialah pemimpin tertinggi di tingkatnya, misalnya presiden atau perdana menteri, gubernur atau wali kota, bukan wakil gubernur atau wakil wali kota. Kalau wakil pemimpin itu masih sesuai untuk semua zaman. Atau parlemen, misalnya perempuan sebagai ketua dewan tidak sesuai, tetapi sebagai wakil atau anggota dewan itu masih sesuai, disebabkan bukan pemimpin tertinggi.[portal satu]

Banda Aceh, 12 Oktober 2016

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Rasul Larang Perempuan Memimpin, Mengapa di Aceh Ada Sultanah?"

Posting Komentar