GoAtjeh,
Banda Aceh – Membaca berita di GoAtjeh berjudul Surat untuk Jokowi dari Perawat Pulau
Banyak Tuntut Kesejahteraan jadi
teringat pengalaman saya saat ditugaskan dua tahun di Pulau Aceh.
Waktu
itu tahun 2006. Saya lulus CPNS dengan ijazah SPK sebagai perawat, dan mendapat
tugas di Pulo Aceh.
Awalnya
saya diliputi cemas. Soalnya, pulau ini yang membuat PNS takut jika ditugaskan
di pulau ini. Begitulah yang ada dalam pikiran kawan-kawan kala itu, dan
sayapun ikut terpengaruh.
Tidak
mudah untuk bertugas di Pulo Aceh. Bagaimana tidak? Pulau ini dulu tidak ada
listrik, dan jauh dari Ibukota. Untuk menuju ke sana saja butuh waktu tempuh
sekitar 3 jam menyebrangi lautan dengan menggunakan kapal kecil yang biasa di
pakai nelayan untuk menangkap ikan. Memang ada sisi asyiknya jika sedang naik
kapal meski penuh debaran. Soalnya, kita bisa mencelup tangan ke air laut dari
kapal. Jarak badan kapal ke air hanya tinggal 2 jengkal saja, dan ini sungguh
indah bukan, meski berdebar hati.
Waktu
itu harga tiket kapal 10 ribu rupiah, dan perjalanan kapal juga tidak setiap
hari ada. Mereka hanya jalan seminggu 2x (tahun 2006)
Jika
tidak salah ingat, di Pulo Aceh terdapat 3 pulau di sekitarnya, yaitu Pulau
Batee , Pulau Breuh dan Pulau Nasi. Dan kebetulan saya kena di pulau Breueh di
desa Lampuyang.
Saya
seorang perawat yang mendedikasikan sedikit ilmu yang saya punya ke pulau
sangat terpencil ini. Ketika berangkat selalu harus membuang pikiran yang
membuat saya takut menghadapi ombak besar di laut yang sering sekali mencapai
3-5 meter.
Saya
juga hanya berserah kepada Allah SWt dan memilih ikhlas meski gaji yang tak
banyak seperti gaji pegawai PTT. Waktu itu, gaji bersih saya sebagai PNS
perawat sekitar 1,8 juta, di tambah tunjangan kerja, dulu namanya TC sekitar
300 ribuan, tak ada tunjangan lain untuk daerah sangat terpencil.
Dan
ini berbeda dengan pegawai Bidan PTT dan dokter PTT. Yang gajinya wow daripa
kami PNS, padahal kerjanya sama-sama capek. Jika tidak salah ingat, saat itu
gaji untuk bidan PTT yang terpencil 4,6 juta dan untuk yang sangat terpencil 6
juta perbulan plus tunjangan lagi. Kan sangat tidak adil.
Saya
masih ingat. Di Lampuyang waktu itu tak ada listrik. Di sana hanya ada genset
bantuan yang bisa hidup dari pukul 6 sore hinga pukul 12 malam tapi juga tidak
merata .
Pernah
saya di undang ke acara pernikahan di kampung itu, yang diadakan malam hari
sungguh memprihatinkan bagai hidup di zaman perang. Mereka hanya memakai lampu
somprong dan lilin saat acara sakral melangsungkan akad nikah. Alhamdulillah
lancar meski tanpa cahaya untuk melihat kecantikan mempelai wanita. Tidak
seperti kita di kota yang penuh dengan foto prewed yang memanjakan mata.
Kesan
awal yang seram, termyata Pulo Aceh sangat indah. Daerah ini mempunyai
keindahan laut dan pantai yang sangat mempesona, meski tidak ditunjang
fasilitas yang memadai.
Sayangnya
harga barang barang dan makanan agak mahal di pulau indah ini. Untuk sebuah air
mineral saja yang di Banda Aceh sekitar 5000 di sana harga nya bisa 6000-7000
rupiah. Itu membuat saya ketika berangkat belanja dulu di Banda Aceh untuk stok
selama di sana.
Kalau
kalian kangen keluarga? Jangan harap akan tersambung manis dan lancar karena di
sana tak ada sinyal hehehe, dan itulah tantangan di pulau ini.
Meski
banyak dengan rintangan kami ikhlaskan demi mengabdi pada negri tercinta ini.
Semoga perawat di Pulau Aceh sekarang lebih baik lagi nasibnya, mendapat
tunjangan sama seperti PTT lainnya. Tapi, membaca berita tentang nasib perawat
di Pulau Banyak, saya jadi ragu, apakah nasib para perawat di Pulo Aceh juga
masih sama dengan apa yang pernah saya alami dulu?! [Sumber: Acehtrend.co]
0 Response to "Ini Kesaksian Mantan Perawat di Pulo Aceh"
Posting Komentar