Merdeka


Acehlah yang paling paham soal merdeka. Saking pahamnya, api perlawanan masih dikobarkan dari tanah Aceh, silih berganti.

Tidak kuat melawan dengan kesadaran keislaman yang konsepnya dibangun di masa DI, Hasan Tiro lalu menjalankan revolusi mental keacehan yang bertumpu pada kesadaran “turi droe.”

Tidak tanggung-tanggung, siapa sejatinya orang Aceh tidak lagi dilihat sebatas manusia nusantara dan melayu. Manusia Aceh ditempatkan dalam timbangan manusia donya yang memegang identitasnya sebagai titik gerak sebagai sebuah bangsa merdeka.

Generasi baru Aceh pun dididik dengan alam pikiran Aceh. Sebelumnya, Hasan Tiro berkerja keras merajut patahan-patahan sejarah Aceh dengan suka dan duka pengorbanan.

Murid-muridnya yang datang dari negeri yang masih “terjajah” diberi pendidikan keacehan, baik di belantara Aceh, di rumah-rumah rakyat gampong, di sudut-sudut kota, atau di sebuah tempat di sejumlah negara di luar negeri.

Otak ureung Aceh yang sudah menjadi rendah diri di negerinya sendiri kembali dicuci agar bisa menjadi pribadi yang tidak hanya mampu tegak berwibawa kala berhadapan dengan bangsa lain, tapi lebih dari itu diri yang mampu menghadirkan standar hidup yang lebih baik dari negara lain.

Hasan Tiro yakin, hanya dengan revolusi mental saja Aceh bisa merdeka. Kekuatan mesin tempur bukan alat utama menggapai kemerdekaan, melainkan sekedar alat pertahanan dari serangan.

Jadi, kunci masa depan Aceh itu bukan pada jenderal, apalagi prajurit tempur, tidak juga pada pelatih, politisi dan konseptor, apalagi propagandis, juru bicara, tukang ketik, dan mata-mata AM atau GAM. Tidak ada lebih mereka yang bersabung nyawa di Aceh dengan mereka yang memilih berjuang di luar Aceh.

Kunci masa depan Aceh itu ada pada rakyat Aceh yang paham betul siapa dirinya sebagai manusia merdeka di tanahnya sendiri. Rakyat yang paham betul apa standar hidup terbaik bagi dirinya dan negerinya. Sebuah standar hidup yang sudah dipraktekkan oleh indatu Aceh, dan mempertahankannya dengan nyawa karena tidak rela hidup dalam standar rendahan yang diberikan oleh bangsa lain, standar manusia lamit.

Menjadi manusia Aceh adalah hakikat tertinggi dari gerakan kemerdekaan. Siapa manusia Aceh itu? Itulah manusia merdeka yang menolak hidup dengan berpedoman kepada standar hidup rendahan. Aceh, dengan kesadaran Islamnya sudah disediakan standar hidup yang menjamin keutamaan dan kemuliaan sebagai manusia, bahkan dijamin keselamatan hidup, donya – akhirat.

Jadi, jika dipaksa untuk hidup dengan standar rendahan, seperti hidup tidak menghargai jiwa orang lain, merusak bumi, saling peuglah pucok droe, berdemokrasi secara tidak sehat, tidak menghidupkan ekonomi rakyat maka itu sama dengan menjadi manusia lamit.

Kabarnya, dalam proses pendidikan menjadi manusia Aceh, Hasan Tiro pernah “murka” hanya karena seseorang yang datang dari Aceh salah dalam cara menyantap makanan yang disajikan. Ada kisah juga Hasan Tiro marah karena ada orang Aceh yang sudah makan lebih dahulu padahal dirinya memilih tidak makan lebih dahulu karena etika menjaga tamu yang datang.

“Kalau kalian saja begini, berarti yang di Aceh sama parahnya soal etika beraceh,” kata juru kisah.

Hasan Tiro sudah tiada. Tapi murid-murid utamanya masih ada. Siapa diantara mereka yang masih fokus menghadirkan standar hidup terbaik ala Aceh yang bisa menjadikan Aceh sebagai daerah teladan di Indonesia dan Asia jika tidak mungkin di ateuh rueng donya?

Akankah orang-orang luar ketika berada di Aceh akan berkata: “bahagianya menjadi ureung Aceh!” Kalau ini terjadi, sungguh Aceh akan menjadi penggerak perubahan Indonesia. Dan, kala itulah arti kemerdekaan RI ditemukan maknanya, dan itu dikeranakan Aceh! [sumber: acehtrend]

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Merdeka"

Posting Komentar