Pada setiap moment lebaran
Idul Adha seperti ini, saya menyaksikan hewankurban menuju proses penyembelihan secara
massal. Sungguh, suatu pemandangan yang mengerikan, jika seandainya yang
disembelih itu manusia. Apa ada manusia yang mau
disembelih? Beruntung hal itu tidak terjadi pada manusia. Allah tidak
menghendaki. Nasib anak manusia lebih baik dari keluarga para hewan sembelihan.
Sejarah penyembelihan kurban tentu tidak bisa dipisahkan dari kisah Nabi
Ibrahim. Kala itu Nabi Ibrahim diminta oleh Allah untuk menyembelih anaknya
Ismail sebagai bentuk pengabdiannya kepada Sang Pencipta. Tapi ketika Nabi Ibrahim hendak melaksanakan tugasnya, Allah
menggantikan posisi Ismail dengan domba. Karena Allah yang maha pengasih
sesungguhnya tidak benar-benar ingin Ismail jadi kurban dan terbunuh. Pemilihan
domba sebagai kurban tentu ada maksudnya. Dibalik itu, tentu Allah punya
rencana dan rahasia! Sejak itulah, kurban berupa hewan domba, dsbnya yang
dikurbankan.
Pergantian Ismail dengan hewan sebagai bentuk kasih
sayang Allah kepada Nabi Ibrahim dan Ismail (Nabi Ismail), dan tentu lebih jauh
terhadap penghormatan pada nyawa manusia. Dalam kaitan penghormatan terhadap
nyawa manusia, Allah menegaskan dalam Al-Quran, Surat Al-Maa’idah“barangsiapa yang membunuh seseorang manusia, bukan karena orang
itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya…” “….Dan barangsiapa
yang memelihara kehidupan seseorang manusia, maka seolah-olah dia telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.”
Untuk melindungi nyawa manusia dari kejahatan manusia
lain, atau agar manusia tidak saling membunuh. Allah juga memerintahkan Qisas
(memberi hukum yang setimpal) bagi sang pembunuh. Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Baqarah, ” hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas
orang-orang yang dibunuh.”
Dari ayat yang saya kutip di atas, jelas dan tegas
bahwa pembunuhan merupakan tindakan yang dibenci oleh Allah. Dalam bangsa
manusia, tindakan pembunuhan juga dikutuk oleh umat manusia yang waras.
Bangsa manusia punya kitab suci sebagai pedoman
hidup. Bahkan esensi dari kitab suci, ada yang diadopsi dalam undang-undang
untuk melindungi hak hidup manusia. Hak untuk hidup, disebut sebagai hak paling
fundamental, yang melekat pada setiap manusia yang tidak dapat dirampas oleh
siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas
nama hukum atau dalam situasi darurat.
Bangsa manusia lebih bermartabat dari hewan. Dalam
bangsa manusia tidak berlaku hukum rimba. Tetapi itu hanya slogan semata.
Buktinya dalam kehidupan bangsa manusia, pembunuhan sering terjadi-bahkan ada
yang membunuh dengan mengatasnamakan agama. Manusia makhluk yang punya peran
terbesar dalam memusnahkan speciesnya sendiri dibandingkan para
binatang-binatang terbuas. Manusialah yang menghancurkan manusia, sama seperti
mereka menghancurkan alam atau lingkungan. Hukum
dilanggar. Disalahgunakan oleh yang berkuasa untuk membunuh. Bahkan hukum
sengaja dibuat untuk membunuh.
Negara VS Rakyat
Sebagai contoh, mari
dilihat apa yang terjadi di negara ini. Negara yang berasaskan Pancasila ini,
sejak berdiri hingga sekarang fenomena pembunuhan oleh negara terhadap rakyat
yang lemah sudah banyak terdokumentasi. Dari satu rezim ke rezim yang lain,
kita menyaksikan pembunuhan. Bahkan pada pembunuhan seperti “dilegalkan”. Pada
era prakondisi pengambilalihan kekuasaan dari Orla (Orde Lama) ke Orba (Orde
Baru), bahkan diawali dengan pembunuhan massal, dan terus berlanjut hingga
berakhir masa rezim Orba. Kekuasaan yang diperoleh dengan cara
kekerasan/kejahatan, maka akan dipertahankan dengan dengan cara-cara
kekerasan/kejahatan pula.
Pada rezim orba
terjadi banyak sekali peristiwa. Seperti di Aceh, dan Papua, dengan dalih
melawan separatis diberlakukan kebijakan operasi militer. Peristiwa Tanjung
Priok dan Talangsari. Penembakam misterius 1982-1985. Konflik rekayasa sosial,
hingga peristiwa pembunuhan mahasiswa dan penghilangan pada tahun1997-1999,
dsbnya.
Walaupun rezim tirani kuat, perlawanan dari rakyat
tertindas juga kuat. Tapi sekuat apapun perlawanan rakyat tertindas, mereka
tetap tergusur dalam pusaran kekuasaan yang tidak berpihak pada mereka. Dalam
catatan sejarah manusia, pernah rakyat Indonesia menggulingkan rejim tirani,
dan menuntut reformasi dalam segala bidang. Reformasi
itu dibayar mahal dengan banyaknya jatuh korban nyawa.
Ketika rejim tirani berhasil ditumbangkan, rakyat
bahagia. Hak asasi mulai terasa jauh lebih baik. Tapi lama kelamaan harapan
mulai menjauh dari kenyataan. Kondisi seperti mundur, dan hampir mendekati pada
rejim tirani.
Pada era reformasi
pelanggaran hak asasi manusia sering terjadi. Pelanggaran HAM yang saya maksud
bukan saja peristiwa demi peristiwa yang terjadi saat ini, tetapi juga absennya
negara dalam menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM masa lalu secara
komprehensif, adil dan bermartabat.
Apa akibatnya kalau tanpa penyelesaian? Akibatnya
memancing kekerasan yang baru seperti yang sering kita lihat sekarang ini. Kita
seperti melihat “masalah ditutup dengan memunculkan masalah baru.” Terus begitu
bagai “spiral kekerasan.”
Perlu diketahui, apabila para pelaku yang lama
menikmati impunitas (kekebalan hukum), maka mereka akan terus mempermainkan
hukum. Kadang mereka berkolaborasi dengan aktor baru dengan metode hampir
serupa atau dalam kemasan yang berbeda. Yang pasti setiap peristiwa kejahatan
yang terjadi tidak terlepas dari motivasi politik maupun ekonomi. Dampak lain
dari impunitas terhadap pelaku lama, memberi ruang bagi aktor baru untuk
berbuat kejahatan. Aktor baru tidak takut, karena ia
tahu hukum tidak bisa menyentuh perbuatannya. Kalau pun tersentuh, hanya
colekan basa-basi. Disamping itu, ketika ada manusia yang bicara jujur, kritis
menyampaikan kebenaran dibungkam, atau dikriminalkan. Hidup seperti simalakama.
Dalam kondisi absennya negara dan pertarungan politik
elit itulah kemudian para korban hadir mengingatkan dan menuntut kewajiban
dijalankan secara sungguh-sungguh. Perjuangan korban bukan dikarenakan motivasi
mengungkit luka lama untuk balas dendam! Tetapi untuk menyelamatkan negara dan
umat manusia dari tindak kejahatan serupa. Selama saya mendampingi para korban,
saya melihat korban sangat bijaksana, pemaaf, tapi tidak amnesia. Memaaf bukan
berarti menegasikan sanksi hukum dan pertanggungjawaban lainnnya bagi para
pelaku.
Korban juga tidak menuntut berlaku Qisas bagi pelaku.
Yang diinginkan oleh korban adalah penegakan hukum yang setara, jujur, adil dan
bermartabat. Pemenuhan hak atas kebenaran, keadilan, reparasi, reformasi
substantif, dan jaminan ketidakberulangan agar penderitaan yang dialami oleh
korban, tidak dialami lagi orang lain. Sebuah harapan yang sangat mulia dalam
membangun masa depan yang lebih baik. Semua yang diperjuangkan atau diharapkan
oleh para korban adalah manisfestasi dari pasal-pasal yang terkandung didalam
UUD 1945, dan berbagai aturan hukum lainnya.
Cuma sayangnya seperti yang sudah saya jelaskan di
atas, usaha mulia para korban tidak semudah membalik telapak tangan. Dipandang
sebelah mata. Bahkan ada yang membenci korban. Tetapi ketika kejadian menimpa
pada sang pembenci, ia juga bersuara sama seperti korban sebelumnya.
Para korban harus berhadapan dengan kondisi
pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu yang mengalami penyakit “kebudayaan
bisu, amnesia, malas, takut, tidak jujur, permisif, tidak amanah, pragmatis,
oportunis, tidak empaty, tidak patuh pada aturan, dsbnya.”
Dalam pemerintah seperti terjadi kegalauan menarik
garis demarkasi antara kejahatan dan kebenaran. Atau bisa jadi bukan karena
galau, tetapi memang tidak ada itikad baik. Atau bisa juga karena malas atau takut menegakkan hukum. Disisi lain, pilih kasih dalam
penegakan hukum dan pemenuhan hak.
Faktor ini bisa saja terjadi karena pemerintah
berkompromi atau selingkuh dengan kroni rezim terdahulu atau bisa juga karena
rasa takut pada kroni rezim otoriter yang masih memiliki pengaruh, baik di
politik, ekonomi maupun yang berada di institusi-institusi pemerintah.
Selain persoalan yang dihadapi dengan pemerintah.
Korban juga berhadapan dengan kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat ini saya
bagi kedalam dua bagian. Bagian pertama adalah kelompok masyarakat yang hidup
di era rejim otoriter yang mengalami penindasan (disadari atau tidak; dirasakan
atau tidak)-kondisi itu sangat tergantung tingkat kesadaran kritisnya pada saat
itu. Tapi yang jelas sebagian dari mereka tenggelam dalam mitos yang ditiupkan
oleh kaum penindas. Susah untuk move on. Susah melihat kebenaran dengan mata
hati. Disini tumbuh pragmatisme. Oportunisme.
Pragmatis dan oportunis juga mengindap di kelompok
masyarakat bagian kedua. Bagian kedua adalah masyarakat yang tidak merasakan
sepenuhnya kehidupan pada era rejim otoriter. Pada kelompok bagian kedua ini,
sepertinya minim minat membaca sejarah. Bersikap tanpa berpikir. Dialektika macet.
“kalau
pun kelompok ini berpikir secara dialektis, maka itu pun dengan suatu
“dialektika yang telah dijinakkan.” mengutip kata Paulo
Freire.
Pun demikian rumit. Dan walau pun arus
“ketidakpedulian” mengalir kencang. Para korban tetap tegar mengarungi samudra
kehidupan. Mereka tidak hanya berpikir untuk sendiri, tetapi untuk orang lain,
bangsa dan negaranya. Kita berharap dan senantiasa berdoa agar masalah
kemanusiaan yang pernah terjadi diselesaikan secara manusiawi dan tidak ada
lagi anak manusia yang terbunuh akibat kejahatan tangan manusia lain. Semoga
kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Taqqaballahu minna wa minkum.
Benteng Selatan, 120916.
0 Response to "Hewan Kurban dan Keselamatan Nyawa Manusia"
Posting Komentar